Esai oleh: SIRAJUDIN FADLI BATALIPU (Semester 7C)

Sejarah Revolusi Industri

Revolusi industri 4.0 kini menjadi perbincangan banyak pihak, bahkan sering menjadi topik pembahasan dalam beberapa seminar yang ada. Namun apasih sebenarnya revolusi industri 4.0 itu?
Pada World Economic Forum (WEF) yang di laksanakan di Jenewa, Klaus Schwab adalah sosok yang pertama kali mengemukakan istilah itu kepada publik pada 2016 silam dalam bukunya dengan judul “Revolusi Industri Keempat”. Schwab berpendapat, revolusi teknologi sedang berlangsung dan akan mengacu pada bagaimana teknologi seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), kendaraan otonom, dan internet saling memengaruhi kehidupan manusia. Menurutnya, perubahan teknologi ini secara drastis akan mengubah cara individu, perusahaan, dan pemerintah bekerja yang pada akhirnya mengarah pada transformasi masyarakat yang serupa dengan revolusi industri sebelumnya.

Sejarah singkat perkembangan Revolusi industri yang terjadi sejak revolusi industri yang pertama hingga sekarang, dilansir dari CNBC international, Kepala Kebijakan Teknologi dan Kemitraan WEF, Zvika Krieger menyatakan kepada CNBC International, Selasa (15/1/2019) ada tema umum pada masing-masing revolusi industri.



Revolusi industri pertama dimulai di Inggris sekitar tahun 1760 yang ditandai dengan penemuan besar yakni mesin uap. Mesin uap memungkinkan proses manufaktur baru, mengarah ke penciptaan pabrik.
Revolusi industri yang kedua diperkirakan datang se abad kemudian yang ditandai dengan produksi massal di industri-industri baru seperti baja, minyak dan listrik. Era tersebut juga ditandai dengan adanya sejumlah penemuan penting seperti bola lampu, telepon dan mesin pembakaran internal.
Selanjutnya, era revolusi industri ketiga dimulai pada tahun 1960 yang ditandai dengan adanya penemuan semikonduktor, komputer pribadi dan internet. Namun Krieger mengatakan, revolusi industri keempat sedikit berbeda dari yang ketiga karena ada dua alasan: kesenjangan antara dunia digital, fisik dan biologis menyusut, dan teknologi berubah lebih cepat daripada sebelumnya.

Untuk membuktikan seberapa cepat perubahan teknologi, Krueger mengilustrasikannya secara sederhana dari kasus telepon dan aplikasi permainan “Pokemon Go”. Jika dulu, diperlukan waktu selama 75 tahun untuk meraih 100 juta pelanggan yang mendapatkan akses ke telepon, aplikasi permainan “Pokemon Go” diunduh jutaan penggunanya hanya dalam waktu kurang dari satu bulan sejak diluncurkan 2016 silam dan banyak orang menjadi “ketagihan” karena aplikasi itu.

Berdasarkan hasil studi European Patent Office pada 2017 lalu menunjukkan jumlah paten yang diajukan yang terkait dengan Revolusi Industri Keempat meningkat signifikan hingga 54 persen dalam tiga tahun terakhir. “Teknologi, khususnya teknologi digital sangat terkait dengan banyak bisnis, serta kehidupan sosial maupun ekonomi kita, sehingga mencoba memisahan teknologi dari nonteknologi menjadi semakin mubazir,” kata David Stubbs, Kepala Strategi Investasi Klien di JP Morgan Private Bank, dalam surat elektronik kepada CNBC international.

Revolusi industri 4.0 juga berdampak pada dunia kesehatan khususnya di bidang keperawatan, siap tidak siap, mau tidak mau perawat harus menghadapi industri kerja yang kian berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Keahlian kerja, kemampuan beradaptasi dan pola pikir yang dinamis menjadi tantangan bagi perawat di era revolusi industri 4.0 ini. Kuantitas bukan lagi menjadi indikator utama bagi seorang perawat dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien yang sesuai standar keperawatan.

Perawat harus bersiap menghadapi era 4.0

Sebagai perawat professional di era revolusi industri 4.0 seharusnya dapat mempersiapkan diri untuk menetapkan dampak pada aspek praktik pelayanan keperawatan dan outcome pada pasien. Dikarenakan perawat memiliki peran besar dan penting dalam memberikan pelayanan sesuai standar keperawatan. Pasalnya, perawat merupakan tenaga kesehatan yang berada di sisi pasien paling lama dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, kemampuan untuk memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien secara berkualitas dan aman sangat dibutuhkan. Terlebih di era kemajuan teknologi saat ini perawat kedepannya tidak hanya dituntut bisa menjadi penyedia layanan keperawatan yang berkualitas semata. Bahkan, perawat sangat diharapkan pula mampu memiliki beberapa peran untuk meningkatkan karakter mereka sebagai perawat professional 4.0.

Seluruh bentuk kecakapan dan keterampilan di abad 21 dan era industri 4.0 yang dibutuhkan oleh perawat harus diintegrasikan ke dalam elemen peran dan fungsi sebagai perawat professional yang telah di tuangkan dalam Undang-Undang Keperawatan No 38 Tahun 2014, seperti; pemberi asuhan keperawatan, sebagai penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, dan pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan.

Kemudian peran dan fungsi perawat tersebut harus di Upgrade dalam menghadapi era perubahan di tengah arus revolusi industry 4.0, hal ini dapat meningkatkan kualitas dan karakter perawat di era digital saat ini, kemampuan tambahan tersebut seperti; perawat peka terhadap teknologi informasi, mempunyai critical thinking, mempunyai ide inovativ, dan adaptif terhadap perubahan era. Kemampuan tambahan tersebut merupakan modal yang sangat penting untuk perawat dalam ber-inovasi dalam pendidikan maupun pelayanan praktik keperawatan.

Namun perkembangan teknologi ini tidak sejalan dengan SDM yang ada, dilansir dari Gustinerz.com, data base online (SIMK PERAWAT) jumlah perawat di Indonesia per 2 September  2019 adalah sebanyak 532.040 orang (perawat yang telah terregistrasi di PPNI secara online/memiliki NIRA).
Jawa Timur merupakan provinsi paling banyak perawat yang sudah memiliki NIRA PPNI yakni sebanyak 69.006 orang. Perbadandingan data dari BPPSDMK Depkes (2015) jumlah perawat di Indonesia sebesar 223.910 orang sedangkan untuk tenaga medis 101.615. Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah perawat terbanyak sebesar 29.154, sedangkan jumlah perawat paling sedikit adalah provinsi Gorontalo sebesar 1.086 (Depkes, 2015). Perlu ditekankan bahwa data tersebut belum termasuk dengan data perawat yang belum memiliki NIRA

Lalu bagaimana nasib mereka sarjana profesi keperawatan yang belum memiliki NIRA? Ataupun mereka yang sudah memiliki NIRA tetapi belum mempunyai pekerjaan. Apakah gelar yang didapatkan oleh mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan selama bertahun lamanya hanya menjadi sekedar sarjana kertas? Nersepreneurship adalah salah satu solusinya.

Menjadi Nursepreneurhip

Ners entrepreneur atau perawat wirausaha adalah istilah yang popular dikalangan perawat untuk menggambarkan seorang yang berprofesi sebagai perawat tetapi sekaligus menjadi pengusaha. Dalam buku yang berjudul Fundamental of Nursing karya Taylor dkk, menjelaskan bahwa Nursepreneur adalah seorang perawat yang memiliki pendidikan tinggi, yang mengelola klinik atau usaha yang berkaitan dengan kesehatan, konsultasi dan memberikan pendidikan.

Kini sudah banyak praktek mandiri keperawatan yang ada di Indonesia baik dari klinik perawatan luka, konseling keperawatan, terapi komplementer hingga pemijatan bayi, namun praktek mandiri yang dilaksanakan oleh perawat itu sendiri masih kurang di ketahui oleh masyarakat, dikarenakan pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa apabila ada masalah dalam kesehatan, masyarakat harus pergi ke intitusi pelayanan kesehatan seperti Rumah sakit dan Puskesmas karena didalamnya sudah kompleks. Tetapi rumah sakit dan puskesmas juga memberikan rasa ketidaknyamanan pasien saat menjalani perawatan baik disebabkan dari segi pelayanan maupun lingkungan.

Berangkat dari masalah tersebut, lahirlah satu gagasan sebuah platform dimana semua praktek mandiri keperawatan yang dilaksanakan perawat disatukan dalam sebuah aplikasi android berbasis online yang bernama “Hello Nursing”

“Hello Nursing”

Hello Nursing memiliki konsep yaitu untuk menghubungkan antara perawat yang memiliki praktek mandiri dengan pasiennya, sesuai dengan kebutuhan pasien. Fitur yang disediakan dalam aplikasi hello nursing ini yaitu fitur untuk klinik parawatan (klinik luka, terapi komplementer, konsultasi keperawatan dll), fitur informasi seputar kesehatan dan PSC (Public Service Center)  Keuntungannya akan mengurangi dampak hospitalisasi terhadap pasien, karena sitemnya adalah homecare dan lebih mempermudah pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan cepat.

Melalui aplikasi ini akan membuka lapangan kerja bagi mereka yang sudah memiliki NIRA tapi belum mempunyai pekerjaan, jadi mereka bukan hanya menjadi sarjana kertas saja. Akhirnya, perawat dapat mengintegrasikan diri ke dalam penyediaan perawatan dan pengambilan keputusan untuk melayani pasien yang didukung oleh teknologi yang canggih dan fondasi caring yang kuat dalam filosofi keperawatan. Di era revolusi industri 4.0 ini, kompetensi ini wajib dimiliki oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat.

9 Comments