Gustinerz.com | Benign Prostat Hiperplasia (BPH) adalah tumor jinak pada prostat akibat sel prostat yang terus mengalami pertumbuhan. Kanker prostat saat ini merupakan jenis keganasan non-kulit yang terbanyak di negara barat atau keganasan sering tersering ke 4 pada pria diseluruh dunia setelah kanker kulit, paru dan usus besar. Perubahan prostat bisa dilihat sejak usia 35 tahun (Depkes, 2015).

Salah satu penatalaksanaan BPH adalah operasi prostatektomi radikal yang merupakan terapi yang paling efektif dalam mengatasi masalah kanker prostat. Pasca operasi protatektomi sering ditemukan adanya masalah inkotinensia urin yang merupakan kegagalan kontrol secara volunter vesika urinaria dan sfingter uretra sehingga terjadi pengeluaran urin secara involunter yang konstan/frekuensi, sehingga untuk mencegah agar supaya masalah ini tidak terjadi maka diperlukan peran perawat dalam melakukan intervensi Preoperative Pelvic Floor Muscle Exercise. (Chang, 2015).

Pellvic Floor Muscle Exercise atau Kegel Exercise diciptakan oleh Dr. Arnol Kegel pada tahun 1984 dengan tujuan mengontol inkontinensia pasca melahir. Latihan kegel dapat meningkatkan fungsi sphincter yang terganggu akibat operasi prostatektomi. Latihan pelvic floor muscle exercise (biasa juga dengan latihan kegel) dapat memperkuat otot dasar panggul untuk meningkatkan fungsi sphincter (Mayangsari, 2015). Hal ini dapat mengontrol kejadian inkotinensia urin.



PFME telah diteliti memiliki fungsi yang amat penting dalam sistem perkemihan khususnya dalam mengatasi gangguan inkontinensia urin. Internationa Consultation on Incontinence (ICI) pada tahun 2001 menejelaskan manfaat dari PFME sebagai salah satu terapi pada post operasi prostatektomi. PFME harus dilakukan dengan cara benar agar memberikan efek yang baik untuk mengatasi masalah inkontinensia urin.

Dalam penatalaksaan PFME harus dilakukan dengan cara yang benar sehingga dapat menimbulkan hasil yang diharapkan. Salah satu penelitian yang dianalisis menggunakan 3 tahap dalam latihan kegel. Tahap pertama mengidentifikasi dan mengajarkan bagaiamna melakukan konstraksi otot pelvic tanpa konstraksi yang lain misalnya otot perut atau gluteal. Disini juga dijelaskan secara visualisasi (menggunakan gambara bagaimana melakukan kegel exercise) diajarkan melakukan 10 konstraksi dalam 5 detik. Tahap kedua dijarkan PFME dalam semua posisi baik duduk, beriri, jongkok atau dalam keadaan berjalan dan identifikasi posisi yang mana yang disukai oleh klien. Pada tahap terakhir ajarkan klien untuk melakukan kegel saat dalam keadaan tertentu misalnya saat batuk, bersin atau juga dalam mengangkat yang berat. Ketiga tahap ini dapat menentukan keberhasilan latihan kegel.

Filocamo et al (2005) yang melakukan studi membuktikan adanya efektifitas PFME dalam mengontol inkotinensia urin pada penderita pasca prostatektomi dibandingkan dengan yang tidak melakukan latihan PFME dengan p-value (0.0001). Sementara itu penelitian dari Centermero et al (2010) yang melakukan penelitian efektifitas PFEM sebelum operasi dan sesudah operasi prostatektomi lebih efektif dalam mengontrol inkotinensia urin disbanding dengan PFME yang hanya dilakukan saat setelah operasi dengan nilai 0.0002. Tienforti et al (2011) juga menemukan hal yang sama namun penelitian ini PFME dilakukan dengan instruksi serta diajarkan langsung oleh terapi yang dibandingkan dengan PFME yang hanya diinstrukan melalui oral tanpa latihan dengan nilai p-value (0.005) pada hasil evaluasi bulan ke enam. Patel et al (2013) juga menemukan efektifitas latihan kegel yang diberikan dengan panduan psikoterapi daripada yang hanya diajarkan dengan verbal dengan nilai p-value 0.001. < Beranda