Maggot adalah lalat yang belum dewasa, tampangnya memang jelek dan menjijikan tapi merupakan antibakteri alami, maggot memakan daging busuk/mati, para dokter mengetahui sejak dulu bahwa maggot cenderung menyantap kulit mati, dapat membantu orang yang lukanya mengalami infeksi. tapi dengan ditemukannya antibiotik modern, therapy maggot mungkin tak akan dilirik lagi.

Terapi larva adalah /MDT menaruh dengan sengaja belatung pembasmi kuman atau larva lalat ke kulit yang luka atau jaringan pada luka manusia atau binatang. Praktek ini digunakan secara luas sebelum ditemukannya antibiotik, untuk membersihkan jaringan mati di luka guna mempercepat penyembuhan. Menaruh belatung pada luka terbuka ternyata membersihkan luka jauh lebih cepat dibandingkan dengan perawatan normal, Meskipun itu tidak mengarah pada kesembuhan yang lebih cepat.

Menurut M Shivshankar, et al, (2016), terdapat 2 metode aplikasi maggot debridement therapy (MDT), yaitu

  1. Maggot diabarkan merayap bebas ke dasar luka dan ditutupi oleh nilon bersih. Kemudian ditempatkan perban untuk menajaga maggot tetap pada luka. Biasanya digunakan sebanyak 10 maggot / cm2 permukaan luka selama 3 hari secara terus menerus. Setelah itu maggot dibuang dengan cara mencuci luka dengan garam.
  2. Metode tidak langsung, maggot di tangkap dan dimasukkan ke dalam bio bag khusus yang mengandung alkohol polivinil spacer. Bio bag memiliki pori-pori dan memungkinkan maggot bermigrasi (eksresi/sekresi) pada luka. Bio bag ini memfasilitasi penerapan MDT dan juga pemeriksaan dasar luka selama perawatan setiap saat.

Prosedur Terapi Belatung pada luka DM

  1. Larva yang akan digunakan untuk terapi larva harus steril (bebas bakteri) untuk mencegah terjadinya kontaminasi saat diaplikasikan pada luka.
  2. Larva diperlihara pada lingkungan yang lembab dan steril untuk mendapatkan larva yang medical grade (Chan DCW, et al, 2007).
  3. Telur dicuci dengan larutan antiseptik dan ditempatkan di dalam wadah steril yang berisi brewer’s yeast dan kedelai sebagai sumber makanan agar larva tetap bertahan hidup sampai dapat ditranspor dalam wadah steril untuk kebutuhan terapi larva.
  4. Pada terapi larva, sekitar 5-10 ekor larva diaplikasikan per cm2 luka (Rafter, L, et al, 2013).
  5. Larva yang digunakan ialah instar 1 ber-ukuran panjang sekitar 2 mm (1-3 mm) dan dapat berkembang menjadi 8-10 mm setelah 5-7 hari.
  6. Luka dan larva kemudian ditutup dan diamkan selama 2 sampai 3 hari. Selama 48-72 jam larva bergerak pada permukaan luka sambil menyekresi sekret yang berpotensi memecahkan dan mencairkan jaringan nekrotik (Rafter, L, et al, 2013).
  7. Larva dapat digunakan bersama antibiotik sistemik, dan juga tidak memperlihatkan efek merugikan pada X-ray sehingga larva dapat dibiarkan pada tempatnya saat dilakukan tindakan tersebut
  8. Jika luka masih belum terlihat baik maka dapat diulangi hingga nantinya terlihat luka yang bersih dan tampak jaringan sehat.

Indikasi Terapi Belatung

Indikasi untuk terapi larva ialah luka kronis yang tidak menyembuh disertai jaringan nekrotik. Sebagai contoh: ulkus akibat tekanan, ulkus venosa, ulkus diabetik, ulkus neuropatik (non-diabetes), ulkus iskemik/arterial, luka traumatik, luka bedah, tromboangitis obliterans, luka/ulkus pasca trauma, necrotizing fasciitis, pioderma gangrenosum, abses pada maleolus, osteomielitis sinus pilonidal, luka infeksi pasca bedah, luka akibat proses keganasan, luka bakar disertai infeksi MRSA, dan mastoiditis subakut (Chan DCW, et al, 2007)

Kontra Indikasi Terapi Belatung

Menurut Chan DCW, et al (2007) terdapat kontraindikasi relatif dan kontraindikasi absolut untuk terapi larva. Yang termasuk kontraindikasi relatif yaitu:

  1. Luka yang kering, karena larva memerlukan lingkungan yang lembab
  2. Pasien yang tidak memahami penggunaan terapi larva
  3. Luka yang membutuhkan inspeksi yang sering

Yang termasuk kontraindikasi absolut yaitu:

  1. Luka terbuka yang berhubungan dengan kavitas tubuh atau organ dalam.
  2. Luka yang dekat dengan pembuluh darah besar
  3. Luka yang mudah berdarah
  4. Tulang atau tendon yang nekrotik
  5. Gangguan perdarahan (herediter atau farmakologik)
  6. Luka yang kurang vaskularisasi (peripheral vascular disease)
  7. Alas luka yang ditutupi kerak keras
  8. Fistula yg belum dilakukan tindakan pembedahan
  9. Alergi terhadap telur, kedelai, brewer’s yeast, dan larva
  10. Semua keadaan dimana debridemen merupakan kontraindikasi