Esao oleh: Sri Dewi Kaluku (Semester 7/B)

Pandemi covid-19 memberikan dampak yang luas bagi setiap tatan hidup masyarakat. Berbagai hal baru yang muncul selama masa pandemi Covid-19 ini menjadi sebuah tantangan yang besar bagi semua lapisan  masyarakat. Pemerintah  pada akhirya menerapkan sistem  physical distancing. Dimana para pelajar dan pendidik yang harus belajar jarak jauh (BJJ) atau sistem belajar secara online. Sementara para pekerja yang pada akhirnya harus dituntut untuk bekerja dari rumah atau Work Form Home (WHF).

Dampak positif dari diberlakukannya WHF diantaranya lebih menghemat waktu keberangkatan, lebih dekat dengan keluarga, dapat menyalurkan hobi dan lainnya. Sementara dampak negatif yang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah terbatasnya ruang gerak, berukrangnya penghasilan ekonomi, model belajar secara online yang banyak menimbulkan kebosanan, kejenuhan  serta kurang efektif. Selain itu WHF  mejadikan individu memiliki jam kerja yang lebih banyak hal ini dikerankan individu membawa pekerjaan mereka ke rumah atau dikerjakan darai rumah sehingga tidak ada batasan antara waktu istirahat di rumah dengan waktu kerja. Hal ini jika terus dibiarkan akan dapat menganggu kesehatan mental masyarakat Indonesia (Muslim,2020:192).




Salah satu gangguan kesehatan mental yang saat ini sedang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah munculnya fenomena burnout. Burnout adalah  keadaan stres berat yang ditandai dengan keletihan fisik, emosional dan mental  dimana individu cenderung mengalami kejenuhan, perasaan putus harapan dan perasaan gagal mencapai ideal diri (Suwarjo & Purnama, 2014:12)

Mengapa fenomena burnout perlu menjadi perhatian?

Sejak pandemi covid-19 sampai pada penerapan normalisasi pasca fenomena burnout syndrome menjadi semakin tinggi dan terus meningkat. hal ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan medis karena tenaga kesehatan merasakan depresi serta kelelahan fisik dan mental sehinganya akan membuat tenaga kesehatan merasa kurang bersemangat dalam bekerja, merasa kurang kompeten serta kurangya empati pada pasien saat bekerja. Hal ini merupakan dampak yang kurang baik karena dapat menimbulkan penuruan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Prodi magister kedokteran fakultas Indonesia melakukan penelitian terhadap fenomena burnout pada masa pandemi hingga penerapan normalisasi pasca pandemi yang dipimpin oleh Dr.dr. Ray W Basrowi, MKK menemukan fakta bahwa 83%  tenaga kesehatan Indonesia mengalami gejala burnout derajat  sedang samapai dengan derajat berat. 43% dari tenaga kesehatan mengalami kelelahan emosi mulai dari derajat sedang sampai dengan derajat berat, 22% dari tenaga kesehatan mulai kehilangan empati saat melakukan pelayanan dengan derajat sedang sampai berat, serta sekitar 52% dari tenaga kesehatan Indonesia mengalami penurunan kepercayaan diri saat bekerja dengan derajat sedang dan berat. Hal ini jika terus dibiarkan bukan hanya akan berdampak  pada peningktan kejadian stres di Indonesi tetapi juga lebih utamanya akan berdampak pada penurunan kualitas  pelayana kesehatan di Indonesia. Hingga pada akhirnya akan menurunkan derajat kesehatan masyarakat Indionesia (HUMAS FK UI,2020).

Fenomena burnout pada masa normalisasi pasca pandemi  ini juga dialami oleh mahasiswa dan pelajar hal ini dibuktiktan oleh penelitian yang dilakukan oleh STKIP PGRI Sumtra Barat dimana mahasiswa mengalami kelelahan emosi sebanyak 47,15% dengan kategori cukup tinggi dan tinggi, kelelahan fisik sebesar 36.53% dengan kategori cukup tinggi dan tinggi dan kelelahan kognitif sebesar 42.14% dengan kategori cukup tinggi dan tinggi serta kehilangan motivasi sebesar 33.58% pada kategori tinggi dan cukup tinggi. Hal ini jika terus saja dibiarkan akan menjadi ancaman bagi dunia pendidikan di Indonesia. Karena sangat berdampak pada prestasi akademik dan non akademik. Dimana  pada dasarnya para mahasiswa dan pelajar inilah yang akan menjadi agen perubahan bagi bangsa. Namun bagaimana mereka akan menjadi promotor agen perubahan bagi bangsa apabila kesehatan mental mereka sedang  sangat terganggu (Rifai & Triyono,2021:143-147).

Kenali karakteristik dari Burnout

Orang yang mengalami burnout akan merasakan nyeri kepala, nyeri punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susah tidur, kelelahan emosional, apatis, depresi mudah tersinggung, kurang empati, merasa kurang bersemangat dan merasa bosan serta merasa letih yang kronis (Suwarjo & Purnama:12)

Peran mahasiswa keperawatan dalam menghadapi fenomena burnout

Mahasiswa keperawatan pada dasaranya memiliki peran yang sangat besar dalam fenomena burnout yang diakibtakan oleh pandemic covid-19 sampai pada keadaan penerapan normalisasi pasca pandemi, yakni :

  1. Sebagai agen perubahan
    Mahasiswa keperawatan sebagai agen perubahan dapat berkontribusi secara kognitif dengan mensosialisakan baik secara langsung maupun melalui media sosial bahwa dampak dari pandemi covid-19 dan penerapan normalisasi pasca pandemi covid-19 bukan hanya pada pendidikan, ekonmi dan kegitan social lain yang menjadi terhambat pergerakannya tetapi yang juga tidak kalah penting adalah dampaknya pada kesehatan mental masyarakat Indonesia. Mahasiswa keperawatan sekrianya dapat mengimpelmenasikan ilmu keprawaatn jiwa melalui litersi dan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental terutama di masa normalisasi pasca pandemic seperti sekarang ini.
  2. Penjaga nilai-nilai keluhuran
    mahasiswa keperawatn dapat menjdi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai keluharan bangasa dengan memperlihatkan empatinya serta sikap gotong royong dalam hal peningkatan derajat kesehatan mental masyarakat. Sehingga masyarakat Indonesi juga akan merasa terpanggil untuk sama-sama peduli terhadap kesehatan mental bangsa Indonesia
  3. Sebagai penerus bangsa
    Mahasiswa sebagai penerus bangsa harusnya bisa menjadi contoh bagi orang-orang di sekitrnya. Bukan hanya mensosialisasikan tetapi juga turut serta dalam melakuakn upaya perbaikan mental masyarakat. Sebagai contoh mahasiswa keperawatan dapat melakukan tindakan atau kebiasaan yang dapat mengatasi fenomena burnout. Dengan merubah pola hidup, seperti melungkan waktu untuk mengistirahatkan dan melakukan kegiatan yang membuat rileks tubuh. Karena sejatinya tubuh manusia juga butuh diistirahatkan, melakukan olahraga ringan secara rutin, belajar manajemen waktu dengan baik, bersosialisasi dengan orang-orang terdekat, serta pengaturan pola makan dan pola tidur yang baik.
  4. Sebagai penjaga moral
    Mahsiswa dapat berkontribusi dalam menjaga moral bangasa dengan menjadikan diri sendiri sebagi contoh bagi orang sekitar dan ikut serta dalam menyurakan baik secara langsung maupun melalui literasi jika ada nilainilai yang tidak sesuai dengan bangasa, terlebih pada sat penerapan normalisasi pasca pandemic seperti sekarang banyak orang yang semakin apatis, egois bhakwan membawa nilai-nilai luar. Hal ini karena pada masa pnademi masyarakat lebih banyak berinteraksi dengan media sosial.
  5. Pengontrol social
    Mahasiswa keperawatan harusnya dapat berkontribusi dengan tidak melakukan  provokasi seperti menyebarkan berita hoax di media sosial terkait dengan kasus covid-19 dan kebijakan-kebijakn pemerintah. Karena hal ini justru akan semakin menimbulkan stersor baru yang dapat memicu syndrome burnout yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan kesehatan mental masyarakat Indonesia.

Referensi:

  • HUMAS FK UI. (2020). 83% Tenaga Kesehatan Mengalami Burnout Syndrom Derajat Sedang dan Berat Selama Masa Pandemic Covid-19. Diakses dari https://fk.ui.ac.id/berita/83-tenaga-kesehatan-indonesia-mengalami-burnout-syndrome-derajat-sedang-dan-berat-selama-masa-pandemi-covid-19.html
  • Muslim, M. (2020). Manajemen Stres Pada Masa Pandemi Covid-19.Jurnal Manajemen Bisnis, 23(2),192
  • Rifai, A & Triyono. (2021). Profil Burnout Study Mahasiswa dalam Pembelajaran Daring di Era New Normal. Jurnal Waha Konseling, 4(2), 143-147
  • Suwarjo & Purnam,s.p. (2014). Model Bimbingan Pengembangan Kompetensi Pribadi Sosial Bagi Siswa SMA yang Mengalami Kejenuhan Belajar (Burnout). Universitas Negeri Yogyakarta

Leave a Comment