Esai oleh: RAMDAN HUNOWU (Semester 3A)

Musnahnya sumber daya manusia dalam dunia kerja, kini hampir benar-benar sempurna nampak di depan mata. Teknologi hadir hampir diseluruh sektor bidang kehidupan manusia dengan tujuan mempermudah beban kerja. Itulah fenomena yang mampu kita lihat pada era 4.0, era di mana teknologi adalah menjadi hal yang utama dibandingkan sumber daya manusia.

Menurut tjandrawinata revolusi digital dan era disrupsi teknologi adalah istilah lain dari industri 4.0. Disebut revolusi digital karena terjadinya proliferasi komputer dan otomatisasi pencatatan di semua bidang. Industri 4.0 dikatakan era disrupsi teknologi karena otomatisasi dan konektivitas di sebuah bidang akan membuat pergerakan dunia industri dan persaingan kerja menjadi tidak linear. Salah satu karakteristik unik dari industri 4.0 adalah pengaplikasian kecerdasan buatan atau artificial intelligence (Satrio, 2018).



Secara sederhana, era disrupsi dapat dikatakan sebagai sebuah zaman dengan penyajian wajah ganda. Di satu sisi era ini membawa sebuah kebermanfaatan yang mampu mempermudah dan mengurangi beban kerja manusia. Namun di sisi lainnya era dengan kecanggihan teknologi ini juga dapat menjadi sumber mala petaka. Banyak manusia yang merasa terbantu dengan melibatkan teknologi dalam kehidupannya baik dari segi ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta sosial.

Namun sangat disayangkan, masih sedikit dari mereka yang tetap memperhatikan serta menganalisa dampak yang akan dihasilkan dari penglibatan teknologi tersebut. Ketika hali ini terus-menerus terjadi, maka akan mengancam manusia itu sendiri serta bidang kehidupan yang di libatkan dengan teknologi tadi entah dari sektor bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun sosial. Lantas apa saja kerugian yang didapatkan oleh manusia serta bidang yang dilibatkannya dengan teknologi tersebut? Tidak lain dan tidak bukan ini akan menjurus kepada lapangan kerja. Manusia akan dirugikan dengan hilangnya pekerjaan yang berkaitan dengan profesinya, sebab sumber daya dan keahliannya telah mampu dikalahkan dan digantikan oleh teknologi. Sedangkan kerugian yang timbul pada bidang kehidupan yang dilibatkan dengan teknologi adalah musnahnya esensi yang seharusnya mampu diterima oleh manusia dari bidang kehidupan itu sendiri.

Kemajuan teknologi mengancam profesi perawat?

Lantas, apakah bidang kesehatan juga menjadi salah satu bagian yang terancam pada era disrupsi ini? Apakah lapangan kerja dari profesi keperawatan juga akan menciut sehingga menjadikan sumber daya manusia dalam hal ini para perawat mampu digeser dan diambil alih oleh teknologi? Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah hal yang kemungkinan besar muncul dalam benak para perawat, ataupun mahasiswa yang saat ini berkecimpung dan berjuang menuntut ilmu di jurusan keperawatan. Pastinya ada rasa kekhawatiran yang menggema dalam dada, rasa-rasanya ingin segera mengakhiri pendidikan ini, jikalau toh pada ujung-ujungnya tenaga keperawatan yang bersumber dari manusia tidak akan dibutuhkan lagi. Namun tidak dapat kita pungkiri, bidang kesehatan dalam hal ini profesi keperawatan juga menjadi bagian dari ancaman akan hadirnya teknologi pada era disrupsi ini. Bukan hal yang mustahil jika beberapa tahun kedepan sumber daya manusia dalam bidang keperawatan tidak akan dibutuhkan lagi.

Hal tersebut kini telah dibuktikan oleh Negara Jepang, di mana Negara jepang telah memanfaatkan canggihnya teknologi dengan menciptakan robot perawat yang memiliki keterampilan melakukan tindakan keperawatan lebih dari manusia. Seperti contoh tindakan pembedahan, melengkapi bagian tubuh yang hilang, penyembuhan dan rehabilitasi, atau bahkan sampai melakukan promosi kesehatan. Terlebih lagi robot perawat ini berusaha untuk di desain agar mampu memberikan keamanan sesempurna mungkin terhadap pasien dan di tawarkan kepada manusia dengan harga yang terjangkau. Menakutkan bukan? Namun itulah kenyataannya.

Anda, saya sebagai mahasiswa keperawatan, dan kita semua yang terlibat dalam profesi keperawatan masih punya kesempatan. Sebab hal di atas belum benar-benar terjadi di Negara Indonesia kita tercinta. Namun sekali lagi, siapa yang akan menyangka jika pada beberapa tahun ke depan Indonesia juga akan menjadikan robot perawat sebagai sumber daya utama dalam dunia keperawatan. Satu hal yang perlu kita tanamkan bahwa, secanggih-cangginya teknologi yang digunakan dalam dunia keperawatan guna memberikan tindakan, tetap tidak akan sesempurna tindakan yang diberikan oleh perawat yang bersumber dari daya manusia.

Jikalau memang tindakan yang di berikan oleh teknologi tidak mampu menyaingi kesempurnaan tindakan yang diberikan oleh manusia, lantas dimanakah letak kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia itu?  HATI, itulah letak kesempurnaan tindakan yang diberikan oleh kita perawat yang bersumber daya manusia. Memang mungkin kita semua pernah mendengar bahwa di inggris telah diciptakan robot yang bernama heart robot , robot ini diciptakan oleh Bristol Robotic Laboratory dengan desain yang mampu menjadikan robot tersebut bisa bereaksi secara emosional layaknya manusia. Namun ketika kita telaah lebih dalam lagi, ternyata robot ini hanya mampu membaca perasaan yang kita berikan terhadapnya, namun tidak mampu memberikan perasaan secara naluri dari dirinya terhadap kita manusia.

Hati mampu sempurnakan canggihnya era disrupsi

Hati manusia merupakan pusat spiritual yang berfungsi sebagai sumber inspirasi internal, kreativitas dan membentuk perasaan cinta. Hati merupakan raja penguasa dalam manusia yang berkehendak mempengaruhi perilaku mereka. (Kamaruding, Abdul dan Ibrahim, 2019). Tidak perlu meninjau lebih jauh lagi akan kekuatan hati yang dimiliki oleh perawat manusia, hal ini telah dibuktikan dengan senyum yang terhias pada wajah perawat yang berusaha disajikan untuk seluruh pasien dalam keseharian kerja mereka. Betapa tidak, kita mungkin pernah mendengar bahwa senyum keikhlasan yang diberikan perawat kepada pasien mampu dikonotasikan sebagai sebuah perasaan cinta yang mampu mendatangkan ketenangan jiwa terhadap diri mereka (pasien).

Sehingganya rasa sakit yang mereka derita mampu sedikit terobati dengan senyum perawat yang bersumber dari hati yang diberikan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan. Atau bahkan kita juga pernah mendengar beberapa pasien anak ingin belama-lama di Rumah Sakit namun bukan untuk mendapatkan pengobatan, melainkan agar dapat senantiasa merasakan ketenangan yang berasal dari senyum perawat tatkala melakukan tindakan. Luar biasa bukan? fenomena ini jelas membuktikan bahwa senyum perawat yang bersumber dari hati ternyata mampu menyempurnakan era disrupsi, dan inilah kunci bahwa tindakan keperawatan manusia tetap akan lebih unggul dibandingkan teknologi.

Kekuatan senyum yang bersumber dari hati, bukanlah cerita fiktif belaka. Banyak peneliti yang telah melakukan pengujian terhadapnya. Salah satunya adalah Shawn Achor, beliau mengemukakan bahwa dengan berlatih tersenyum setiap hari, otak akan terbantu membuat rasa bahagia (Hormon Endorphin) serta menjadikan pikiran lebih positif. Senyum dapat menyehatkan baik bagi orang yang memberikan senyum dan orang yang menerima senyuman karena dalam komunikasi senyum terbentuk kepekaan manusia yang memperlihatkan sikap empati, saling menerima, saling memahami dan sikap hadir untuk pasien. (Fitriana, 2019). Lagi-lagi hal ini saya rasa tidak mampu diciptakan oleh teknologi. Karena pada dasarnya perasaan ketenangan jiwa bukanlah hal yang biasa, ia datang dari keikhlasan hati yang disalurkan manusia yang mampu dipancarkan oleh perawat melalui senyum ikhlas yang bersumber dari hatinya.

Di sinilah letak tuntutan yang diberikan kepada perawat. Kini keterampilan kerja yang dimiliki oleh perawat bukanlah hal yang menjadi kunci utama. Perawat dituntut untuk memiliki keterampilan kerja yang baik yang disertai pula dengan kecerdasan emosional yang baik, sehingga mampu menghadirkan senyuman yang dapat menjadikan ketenangan terhadap semua pasien dalam segala situasi dan kondisi. Tidak ada alasan apapun yang membenarkan perawat untuk tidak menghadirkan senyum keikhlasan. Masalah dan beban kerja yang ada di pundak perawat, harus mampu dihapuskan tatkala memberikan tindakan keperawatan kepada pasien. Terdengar tidak mudah, tapi itulah kuncinya. Perawat harus bisa memainkan sandiwara dalam kehidupan dunia sehingga pasien dan orang-orang sekitar mengira bahwa hidupnya senantiasa baik-baik saja dan bahkan penuh dengan rasa bahagia. Dengan demikian, ketenangan dan kenyamanan itu benar-benar akan mampu tersalurkan kepada pasien tatkala perawat melakukan tindakan.

Hadirnya teknologi memang memberikan pengaruh terhadap lapangan kerja kita (profesi keperawatan), namun bukan berarti kita harus memusnahkannya. Penggunaan teknologi yang bijak yang dikolaborasikan dengan keikhlasan kerja perawat akan mampu memberikan kesempurnaan tindakan keperawatan, karena pada dasarnya perawat juga memainkan peranan penting dalam era disrupsi. Intinnya, peran kita sebagai perawat di era disrupsi adalah menjadikan teknolgi sebagai media untuk mempermudah beban kerja, dengan tetap menunjukan eksistensi kita sebagai seorang perawat.

Sehingganya, kita tetap dapat menghadirkan esensi yang sesungguhnya dari sektor bidang kesehatan dalam hal ini keperawatan. Kuncinya adalah bekerja ikhlas dalam segala tindakan, yang harusnya mampu dibuktikan oleh perawat dengan senyuman yang menghadirkan ketenangan. Dengan demikian tenaga perawat manusia tetap akan senantiasa dibutuhkan oleh pasien meski dengan perkembangan teknologi, dan pada akhirnya senyum perawat yang bersumber dari hati benar-benar mampu menyempurnakan kecanggihan teknologi di era disrupsi.


Sumber:

  • Fitriana, V. (2019). Pengalaman dan makna perawat tersenyum kepada pasien di ruang gawat darurat. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
  • Kamaruding, M., Abdul, R. and Ibrahim, R. (2019) ‘Fundamentals of Qalb : The Impact on Muslim Project Managers, Atlantis Press. 227: 492–495.
  • Satrio, D. (2018) Inovasi Dan Kreatif Dalam Entrepreneur Menuju Revolusi Industri 4.0, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang.03 Mei 2019, Hal.143–149.